Bagaimana rasanya bertemu kawan lama setelah 10 tahun tak bertemu?
Jawabannya ada dua: Pertama merasa sangat bahagia dan yang kedua merasa sangat canggung. Dan aku tipe orang yang berada di pilihan kedua. Aku selalu merasa canggung saat bertemu kawan lama yang setelah sekian lama tak pernah bertemu ataupun mendengar kabarnya.
Yah, beberapa waktu lalu aku bertemu seorang kawan lama. Aku sekelas dengan dia sewaktu SD hingga SMP. Dan parahnya, walaupun kami sekelas, kami sama sekali tak akrab. Intensitas pembicaraan kami hanya bisa dihitung jari. Alasannya? Karena dia adalah anak laki-laki. Dan aku sangat jarang berkomunikasi dengan anak laki-laki. Apalagi jika ia termasuk anak nakal. Sebisa mungkin aku akan jaga jarak. Penyebabnya sederhana, aku tak ingin terlibat masalah dengan mereka.
Aku pernah punya pengalaman buruk dengan anak laki-laki. Waktu kelas 2 SD aku pernah berkelahi dengan anak laki-laki, entah karena apa. Dan sejak saat itu aku tidak suka pada mereka.
Lanjut ke cerita pertemuanku dengan kawan lamaku itu. Sebut saja namanya Bagas (nama samaran, hohoho). Aku sekelas dengan nya dari kelas 3 SD hingga kelas 3 SMP. Dan setelah lulus SMP, aku tak pernah lagi bertemu dengan dia. Dan 10 tahun berlalu, aku tiba-tiba mendapati dirinya sedang duduk di kursi depan sebuah mobil angkutan umum yang akan kukendarai dari kampung halaman ku menuju kota daeng. Dan tempat dudukku pas di belakang kursinya. Dan itu berarti aku akan berada di belakangnya, menatap punggungnya selama 4 jam perjalananku.
Dan saat itu, aku tak tahu harus melakukan apa? Apakah aku harus menyapa lebih dulu? Tetapi bagaimana jika ia bukan teman yang kukenal? Bagaimana jika mukanya hanya mirip saja? karena aku tadi hanya melihat wajahnya sepintas lalu. Bagaimana jika itu benar-benar dia? Apa aku harus berdiam diri saja dan pura-pura tak kenal? Huffttt..bingung nya.
Selama satu jam pertama perjalanan kami, kulihat dia sedang mengobrol asyik dengan pak Supir. Sepertinya ia sudah akrab dengan Pak Basri, Supir langganan yang selalu mengantarku. Kudengar suaranya juga mirip sama dengan kawanku itu. Garis wajahnya juga sama persis. Aku memperhatikan dia dari balik punggung kursinya. Dan tetap berusaha menyembunyikan wajahku.
Syukurlah hari itu aku tak sendirian, aku bersama seorang sahabat yang sudah kuanggap sodara sendiri. Kami sama-sama dari kampung dan berjuang bersama di kota daeng, kota yang tiap harinya bertumbuh tinggi. Namanya Uchi.
Sambil tetap terdiam dan mengunci mulut, aku lalu kirim chat ke Uchi supaya tidak mengajak ku bicara. Aku lalu ksh tau ke dia, kalo cowok yg duduk di kursi depan mirip sama temanku. Tetapi aku terlalu malu untuk sapa duluan. Membaca chatq, Uchi lalu ngakak sndiri. Abis itu dia kirim balasan chatku..
"Kenapa ki ndak berani sapa duluan? sapa tau teman ta memang itu".
Yaps, aku tak punya keberanian menyapanya duluan. Karena ada banyak alasan, diantaranya: Alasan pertama, karena aku takut dia sudah tak mengenali ku lagi. Alasan kedua, aku dan dia walaupun sekelas selama enam tahun, kami sama sekali tidak akrab. Komunikasi dua arah antara aku dan dia selama enam tahun bisa dihitung jari. Kami hanya bercakap jika kebetulan ngerjain tugas kelompok. Setelah itu, kita seperti orang tak saling mengenal.Selama enam tahun belajar bersama dalam kelas yang sama, aku tak cukup mengenalnya. Pasti dia pun seperti itu. Dalam kurun waktu enam tahun, aku hanya tahu nama dan alamat rumahnya saja. Hahahaha. Namanya juga cuma teman sekelas, bukan teman akrab kan. Tetapi lebih dari itu, Bagas yang dikenal cukup baik oleh guru dan wali kelas dan sempat menjabat sebagai ketua OSIS, tidak sebaik yang dipikirkan. Kami teman sekelasnya tahu, kalau Bagas kadang agak sedikit menjengkelkan. Dia sering sekali mengganggu dan membully salah seorang teman sekelas kami, yang bernama Putra (hanya nama samaran). Entah karena alasan apa? Saat Putra sedang berjalan, Bagas akan dengan sengaja menendang atau membuat Putra terjatuh. Selalu seperti itu. Bahkan saat Putra hanya duduk sambil mengerjakan tugas, Bagas akan dengan sengaja melempar sesuatu seperti buku atau pulpen ke arah Putra. Saat itu kami teman sekelas nya tak bisa berbuat apa-apa. Hanya memandang ke arah Bagas dengan tatapan jengkel. Tak ada yang benar-benar berani untuk melaporkan tingkah Bagas ke Guru atau Wali Kelas. Bahkan Putra sebagai Korban juga tak berniat melawan. Dia hanya menerima perlakuan kasar Bagas dengan hati yang terluka. Dan parahnya, Tingkah Bagas dicontoh sama anak laki-laki yang lain. Mereka juga dengan semena-mena memukul atau menendang Putra tanpa alasan yang jelas.
Aku hanya menduga duga saja, tetapi Bagas mungkin memperlakukan Putra dengan kasar karena Putra tidak seperti anak laki-laki pada umumnya. Yah, Putra teman kelas kami agak kemayu dan feminim. Dia lebih suka bergaul dengan anak-anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Karena anak laki-laki selalu memperlakukannya dengan kasar.
Ini sangat menyakitkan, di usia itu,,, di usia yang harusnya kami belajar dan bermain sesuka hati dengan kawan sebaya, malah menjadi hari-hari yang menakutkan buat Putra. Jika aku berada di posisi Putra saat itu, aku mungkin tak akan sanggup bertahan. Aku mungkin akan segera melaporkan kejadian tersebut pada orang tuaku dan meminta untuk segera pindah sekolah. Tetapi ternyata Putra tak melakukan hal tersebut. Dia bertahan bersama kami semua, melewati hari-hari yang beratnya di sekolah, dan akhirnya tamat dari sekolah itu bersama-sama. Aku juga tak dekat dengan sosok Putra. Tetapi aku salut dengan keteguhan hatinya.
Karena alasan itu, karena mengingat kejadian sepuluh tahun yang lalu itu. Aku tak berniat menyapa Bagas lebih dulu. Walaupun aku tahu kalau itu benar dia. Di mataku dia tetap Bagas yang dulu, anak laki-laki yang nakal dan sangat menjengkelkan.Walaupun menjengkelkan, Bagas adalah salah satu teman yang cerdas. Dia juga jago ngelukis. dan tentunya Pintar Organisasi.
Sambil mengenang masa itu, aku tetap berusaha agar tak bertatap muka dengan Bagas yang duduk pas di kursi depanku. Lalu tiba-tiba pak Supir mendadak menghentikan mobilnya. Pak Sopir lalu menoleh kebelakang dan meminta maaf, karena mendadak Ban mobil nya harus diganti. Terpaksalah semua penumpang harus turun. Dan mau tidak mau, aku harus bertatap muka dengan kawan lamaku itu.
Satu, Dua, Tiga...akhirnya kami bertatap muka. Dia tersenyum duluan ke arahku. Aku juga membalas senyum itu dengan canggung. Ia lalu menghampiriku sambil menyodorkan tangannya dan berkata, "Hei lama tak ketemu? Apa kabar? "
Baru hendak menjawab pertanyaan nya, dia lalu berkata lagi "By the way, saya lupa siapa nama ta?" Entah karena merasa apa, aku lalu tiba-tiba balik badan dan berkata jutek, "Sudahmi lupakan ma" (bahasa gaulnya, udah lupain gue aja)
Ia lalu terkekeh dan meminta maaf sambil membungkukkan badan.
Lima detik kemudian kami jadi akrab, percakapan kami mengalir begitu saja. Ia bertanya banyak hal tentang diriku, pekerjaanku, alamat kantor. Dan keadaan teman-teman kami yang lain. Ia juga menjawab semua pertanyaan ku dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Dan beberapa menit kemudian, dia sudah ingat siapa namaku. Dan mengucapkannya berulang-ulang. Sampai aku malu sendiri mendengarnya.
Aku tidak tahu bagaimana hubungan dia saat ini dengan Putra? Apakah ia sudah meminta maaf atau belum atas kejadian masa lalu. Tetapi yang kutahu, Bagas anak kecil nakal yang menjengkelkan itu telah berubah. Dia sekarang menjadi sangat dewasa. Dari percakapan kami, kutau sekarang dia telah menyelesaikan sekolah hukumnya. Kuharap dia benar-benar bisa menegakkan hukum yang adil dimana pun ia berada.
Ternyata waktu bisa mengubah siapa saja dan apa saja. Tetapi pilihan tetap ada di tangan kita. Ingin tetap seperti yang dulu, atau berubah terus tiap harinya menjadi sosok yang lebih baik lagi. Karena sungguh sebuah kesia-sia an jika pribadi kita hari ini lebih buruk dari pribadi kita yang kemarin,
Ini ceritaku tentang pertemuan pertamaku dengan kawan lama setelah 10 tahun lamanya.
Kamu apa ceritamu???
Yah, beberapa waktu lalu aku bertemu seorang kawan lama. Aku sekelas dengan dia sewaktu SD hingga SMP. Dan parahnya, walaupun kami sekelas, kami sama sekali tak akrab. Intensitas pembicaraan kami hanya bisa dihitung jari. Alasannya? Karena dia adalah anak laki-laki. Dan aku sangat jarang berkomunikasi dengan anak laki-laki. Apalagi jika ia termasuk anak nakal. Sebisa mungkin aku akan jaga jarak. Penyebabnya sederhana, aku tak ingin terlibat masalah dengan mereka.
Aku pernah punya pengalaman buruk dengan anak laki-laki. Waktu kelas 2 SD aku pernah berkelahi dengan anak laki-laki, entah karena apa. Dan sejak saat itu aku tidak suka pada mereka.
Lanjut ke cerita pertemuanku dengan kawan lamaku itu. Sebut saja namanya Bagas (nama samaran, hohoho). Aku sekelas dengan nya dari kelas 3 SD hingga kelas 3 SMP. Dan setelah lulus SMP, aku tak pernah lagi bertemu dengan dia. Dan 10 tahun berlalu, aku tiba-tiba mendapati dirinya sedang duduk di kursi depan sebuah mobil angkutan umum yang akan kukendarai dari kampung halaman ku menuju kota daeng. Dan tempat dudukku pas di belakang kursinya. Dan itu berarti aku akan berada di belakangnya, menatap punggungnya selama 4 jam perjalananku.
Dan saat itu, aku tak tahu harus melakukan apa? Apakah aku harus menyapa lebih dulu? Tetapi bagaimana jika ia bukan teman yang kukenal? Bagaimana jika mukanya hanya mirip saja? karena aku tadi hanya melihat wajahnya sepintas lalu. Bagaimana jika itu benar-benar dia? Apa aku harus berdiam diri saja dan pura-pura tak kenal? Huffttt..bingung nya.
Selama satu jam pertama perjalanan kami, kulihat dia sedang mengobrol asyik dengan pak Supir. Sepertinya ia sudah akrab dengan Pak Basri, Supir langganan yang selalu mengantarku. Kudengar suaranya juga mirip sama dengan kawanku itu. Garis wajahnya juga sama persis. Aku memperhatikan dia dari balik punggung kursinya. Dan tetap berusaha menyembunyikan wajahku.
Syukurlah hari itu aku tak sendirian, aku bersama seorang sahabat yang sudah kuanggap sodara sendiri. Kami sama-sama dari kampung dan berjuang bersama di kota daeng, kota yang tiap harinya bertumbuh tinggi. Namanya Uchi.
Sambil tetap terdiam dan mengunci mulut, aku lalu kirim chat ke Uchi supaya tidak mengajak ku bicara. Aku lalu ksh tau ke dia, kalo cowok yg duduk di kursi depan mirip sama temanku. Tetapi aku terlalu malu untuk sapa duluan. Membaca chatq, Uchi lalu ngakak sndiri. Abis itu dia kirim balasan chatku..
"Kenapa ki ndak berani sapa duluan? sapa tau teman ta memang itu".
Yaps, aku tak punya keberanian menyapanya duluan. Karena ada banyak alasan, diantaranya: Alasan pertama, karena aku takut dia sudah tak mengenali ku lagi. Alasan kedua, aku dan dia walaupun sekelas selama enam tahun, kami sama sekali tidak akrab. Komunikasi dua arah antara aku dan dia selama enam tahun bisa dihitung jari. Kami hanya bercakap jika kebetulan ngerjain tugas kelompok. Setelah itu, kita seperti orang tak saling mengenal.Selama enam tahun belajar bersama dalam kelas yang sama, aku tak cukup mengenalnya. Pasti dia pun seperti itu. Dalam kurun waktu enam tahun, aku hanya tahu nama dan alamat rumahnya saja. Hahahaha. Namanya juga cuma teman sekelas, bukan teman akrab kan. Tetapi lebih dari itu, Bagas yang dikenal cukup baik oleh guru dan wali kelas dan sempat menjabat sebagai ketua OSIS, tidak sebaik yang dipikirkan. Kami teman sekelasnya tahu, kalau Bagas kadang agak sedikit menjengkelkan. Dia sering sekali mengganggu dan membully salah seorang teman sekelas kami, yang bernama Putra (hanya nama samaran). Entah karena alasan apa? Saat Putra sedang berjalan, Bagas akan dengan sengaja menendang atau membuat Putra terjatuh. Selalu seperti itu. Bahkan saat Putra hanya duduk sambil mengerjakan tugas, Bagas akan dengan sengaja melempar sesuatu seperti buku atau pulpen ke arah Putra. Saat itu kami teman sekelas nya tak bisa berbuat apa-apa. Hanya memandang ke arah Bagas dengan tatapan jengkel. Tak ada yang benar-benar berani untuk melaporkan tingkah Bagas ke Guru atau Wali Kelas. Bahkan Putra sebagai Korban juga tak berniat melawan. Dia hanya menerima perlakuan kasar Bagas dengan hati yang terluka. Dan parahnya, Tingkah Bagas dicontoh sama anak laki-laki yang lain. Mereka juga dengan semena-mena memukul atau menendang Putra tanpa alasan yang jelas.
Aku hanya menduga duga saja, tetapi Bagas mungkin memperlakukan Putra dengan kasar karena Putra tidak seperti anak laki-laki pada umumnya. Yah, Putra teman kelas kami agak kemayu dan feminim. Dia lebih suka bergaul dengan anak-anak perempuan dibandingkan anak laki-laki. Karena anak laki-laki selalu memperlakukannya dengan kasar.
Ini sangat menyakitkan, di usia itu,,, di usia yang harusnya kami belajar dan bermain sesuka hati dengan kawan sebaya, malah menjadi hari-hari yang menakutkan buat Putra. Jika aku berada di posisi Putra saat itu, aku mungkin tak akan sanggup bertahan. Aku mungkin akan segera melaporkan kejadian tersebut pada orang tuaku dan meminta untuk segera pindah sekolah. Tetapi ternyata Putra tak melakukan hal tersebut. Dia bertahan bersama kami semua, melewati hari-hari yang beratnya di sekolah, dan akhirnya tamat dari sekolah itu bersama-sama. Aku juga tak dekat dengan sosok Putra. Tetapi aku salut dengan keteguhan hatinya.
Karena alasan itu, karena mengingat kejadian sepuluh tahun yang lalu itu. Aku tak berniat menyapa Bagas lebih dulu. Walaupun aku tahu kalau itu benar dia. Di mataku dia tetap Bagas yang dulu, anak laki-laki yang nakal dan sangat menjengkelkan.Walaupun menjengkelkan, Bagas adalah salah satu teman yang cerdas. Dia juga jago ngelukis. dan tentunya Pintar Organisasi.
Sambil mengenang masa itu, aku tetap berusaha agar tak bertatap muka dengan Bagas yang duduk pas di kursi depanku. Lalu tiba-tiba pak Supir mendadak menghentikan mobilnya. Pak Sopir lalu menoleh kebelakang dan meminta maaf, karena mendadak Ban mobil nya harus diganti. Terpaksalah semua penumpang harus turun. Dan mau tidak mau, aku harus bertatap muka dengan kawan lamaku itu.
Satu, Dua, Tiga...akhirnya kami bertatap muka. Dia tersenyum duluan ke arahku. Aku juga membalas senyum itu dengan canggung. Ia lalu menghampiriku sambil menyodorkan tangannya dan berkata, "Hei lama tak ketemu? Apa kabar? "
Baru hendak menjawab pertanyaan nya, dia lalu berkata lagi "By the way, saya lupa siapa nama ta?" Entah karena merasa apa, aku lalu tiba-tiba balik badan dan berkata jutek, "Sudahmi lupakan ma" (bahasa gaulnya, udah lupain gue aja)
Ia lalu terkekeh dan meminta maaf sambil membungkukkan badan.
Lima detik kemudian kami jadi akrab, percakapan kami mengalir begitu saja. Ia bertanya banyak hal tentang diriku, pekerjaanku, alamat kantor. Dan keadaan teman-teman kami yang lain. Ia juga menjawab semua pertanyaan ku dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya. Dan beberapa menit kemudian, dia sudah ingat siapa namaku. Dan mengucapkannya berulang-ulang. Sampai aku malu sendiri mendengarnya.
Aku tidak tahu bagaimana hubungan dia saat ini dengan Putra? Apakah ia sudah meminta maaf atau belum atas kejadian masa lalu. Tetapi yang kutahu, Bagas anak kecil nakal yang menjengkelkan itu telah berubah. Dia sekarang menjadi sangat dewasa. Dari percakapan kami, kutau sekarang dia telah menyelesaikan sekolah hukumnya. Kuharap dia benar-benar bisa menegakkan hukum yang adil dimana pun ia berada.
Ternyata waktu bisa mengubah siapa saja dan apa saja. Tetapi pilihan tetap ada di tangan kita. Ingin tetap seperti yang dulu, atau berubah terus tiap harinya menjadi sosok yang lebih baik lagi. Karena sungguh sebuah kesia-sia an jika pribadi kita hari ini lebih buruk dari pribadi kita yang kemarin,
Ini ceritaku tentang pertemuan pertamaku dengan kawan lama setelah 10 tahun lamanya.
Kamu apa ceritamu???
Comments
Post a Comment
Terima Kasih sudah berkunjung ^_^
Silahkan meninggalkan komentar jika berkenan