"Dapatkah saya menjadi penulis jika tidak menulis?"
Jawabnya : "Tidak bisa. Sebab untuk menjadi penulis kita harus membiasakan menulis"
Oleh karena itu, teruslah menulis walaupun merasa takut. Tetap menulis walaupun kau sadar bahwa tulisanmu sangat tak layak. Dan teruslah menulis walau kau merasa yang kau tulis tak lebih baik dari "sampah". Semakin sering menulis, maka ketakutan, keraguan dan keyakinan buruk akan musnah lalu kamu akan memandang dirimu sebagai penulis.
Annie Dillard berkata, "Halaman-halaman itu, kekosongan abadi itu, akan mengajarimu menulis. Kamu belajar dengan melakukan. Sebuah kata akan menuntun ke lebih banyak kata dan kemudian lebih banyak lagi, dan lagi". Hingga menghasilkan sebuah cerita yang utuh dalam buku. Bidiklah halaman kosong itu dan mulailah langsung ke dalam inti yang harus kamu katakan. Dan satu hal yang harus kamu lakukan adalah MEMULAI.
Beberapa orang bisa dengan lancar menumpahkan kata-kata dari sesuatu yang terlintas dari benaknya. Tetapi beberapa lagi harus berjuang keras untuk menggambarkan apa yang ia pikirkan dan rasakan. Dan aku adalah salah satunya. Seringnya ide itu muncul disaat yang kurang tepat, seperti saat aku merasa lelah. Atau saat aku benar-benar sibuk. Lalu ide itu melintas dan melenggang dengan santai minta untuk diperhatikan. Lalu karena timingnya kurang pas, aku lalu mengabaikannya. Dan ide itu pun berlalu dengan sendirinya. Timing yang kurang pas tersebut kuibaratkan sebagai sesosok monster.
Dan ini adalah ceritaku tentang sesosok monster tersebut. Jadi ia adalah sosok hitam tinggi yang menyerupai bayangan yang tak terlihat tetapi selalu ada di sekelilingku. Biasanya ia akan dengan cepat menebas bayangan putih yang melintas. Bayangan putih itu adalah ide yang biasa muncul tiba-tiba. Lalu menghilang segera saat ia menebasnya.
Jika monster ini lengah, aku kadang bisa menangkap bayang ide yang melintas dengan cepat. Ide tersebut lalu kupenjara dalam buku catatan kecil bersampul biru yang selalu ada di tasku. Saat perasaanku sedang baik aku akan mengeluarkan buku catatan tersebut dan memilah-memilah ide yang mana yang harus kutuangkan dalam sebuah postingan tulisan. Terkadang memulainya terasa mudah, tetapi ketika tiba dipertengahan tulisan, Monster dengan bayangan hitam yang selalu ada disekitarku berbuat ulah lagi. Ia sangat tak ingin aku menyelesaikan sebuah tulisan. Ia lalu meniup kepalaku dengan keras. Bau busuk nafasnya memenuhi seluruh otakku dan kemudian mendorong ide-ide yang ada di kepalaku keluar. Lalu karena nafas hitam pekat yang ia hembuskan ke otakku berisi kalimat-kalimat negatif yang menghancurkan kepercayaan diriku. Kalimat-kalimat negatif seperti tulisanku tidak berbobot, tidak pantas untuk dipublikasikan, kata-kata yang kurangkai sangat membosankan, hingga aku pun termakan ucapan buruknya dan memutuskan untuk berhenti menulis. Saat itu tejadi ia akan tertawa senang.
Dan ini adalah ceritaku tentang sesosok monster tersebut. Jadi ia adalah sosok hitam tinggi yang menyerupai bayangan yang tak terlihat tetapi selalu ada di sekelilingku. Biasanya ia akan dengan cepat menebas bayangan putih yang melintas. Bayangan putih itu adalah ide yang biasa muncul tiba-tiba. Lalu menghilang segera saat ia menebasnya.
Jika monster ini lengah, aku kadang bisa menangkap bayang ide yang melintas dengan cepat. Ide tersebut lalu kupenjara dalam buku catatan kecil bersampul biru yang selalu ada di tasku. Saat perasaanku sedang baik aku akan mengeluarkan buku catatan tersebut dan memilah-memilah ide yang mana yang harus kutuangkan dalam sebuah postingan tulisan. Terkadang memulainya terasa mudah, tetapi ketika tiba dipertengahan tulisan, Monster dengan bayangan hitam yang selalu ada disekitarku berbuat ulah lagi. Ia sangat tak ingin aku menyelesaikan sebuah tulisan. Ia lalu meniup kepalaku dengan keras. Bau busuk nafasnya memenuhi seluruh otakku dan kemudian mendorong ide-ide yang ada di kepalaku keluar. Lalu karena nafas hitam pekat yang ia hembuskan ke otakku berisi kalimat-kalimat negatif yang menghancurkan kepercayaan diriku. Kalimat-kalimat negatif seperti tulisanku tidak berbobot, tidak pantas untuk dipublikasikan, kata-kata yang kurangkai sangat membosankan, hingga aku pun termakan ucapan buruknya dan memutuskan untuk berhenti menulis. Saat itu tejadi ia akan tertawa senang.
Monster penghambat tulisan tersebut hanya bisa dimusnahkan, saat kita menyadari alasan kenapa aku harus menulis? Mengapa aku harus menulis? Apa yang aku harapkan dari sebuah proses menulis? Apa yang kudapatkan dari sebuah tulisan?
Dan ini adalah jawabanku atas pertanyaan-pertanyaan tersebut:
"Aku selalu berpikir bahwa menulis itu adalah sesuatu yang menyenangkan dan membuatku bahagia. Karena aku sangat menikmati jari-jariku yang bergerak di atas tuts-tuts komputer sementara sel-sel otakku saling terhubung satu sama lain. Ada banyak hal yang ingin aku ceritakan, tetapi terkadang aku tak menemukan seseorang yang akan duduk dan mendengar ceritaku dengan tuntas. Jadi saat itu terjadi, pelarian paling sempurna adalah menumpahkannya lewat tulisan. Dengan tulisan, aku bisa menceritakan segala hal yang ingin kubagi. Aku merasa bahwa menulis itu sesuatu yang penting. Karena berkat tulisan, kita bisa kembali ke kenangan masa lalu. Mengobati rasa sakit serta mengingat kembali kenangan pahit lalu tersenyum karena telah berhasil melaluinya. Lalu yang kuharapkan dari proses menulis adalah aku bisa mengasah kreatifitasku serta semakin mengenal emosi dan ketakutan-ketakutanku. Menulis membuat kepercayaan diriku meningkat dan aku lebih terbuka pada pendapat orang lain, seperti aku ingin orang lain menghargai pendapatku.
Itu cerita tentang monster penghambat tulisanku, Lalu kamu sudahkan mengenal monster yang sering menghambatmu menyelesaikan tulisan????
Hiiii... Ngeri ada monster... Bener banget Mbak, kayaknya pas males nulis itu ada monster gede di depan mata... Duhhh
ReplyDeleteHeheheh itu monsternya ngambil gambar dr grim reaper mbak Dian jd serem banget hahahah
Deletemonster pencabut kreatifitas ,, semoga kt sama-sama dihindarkan dari penyakit males itu ya mbak.. Jd bs lebih produktif lagi nulisnya
Hiiii... Ngeri ada monster... Bener banget Mbak, kayaknya pas males nulis itu ada monster gede di depan mata... Duhhh
ReplyDeleteMakasih Mbak Dian Udah mampir ^_^
DeleteBenar sekali mbak, kalau mau jadi penulis teruslah menulis, suatu saat tanpa sadar kita sudah lancar sendiri...asalkan imbangi juga dengan membaca.. :)
ReplyDeleteYaps setuju banget Mbak Muyassaroh.. gizi terbaik buat penulis ya baca buku ^_^
Deletemakasih udah mampir
Akupun, menulis menjadi pelarian ketika nggak ada yang mau mendengarkan ceritaku hehe
ReplyDeleteMonsternya ngeri ya kalau berwujud. Kalau aku monsternya, monster 2M. Males dan godaan Media sosial
Bener banget mbak Gilang Maulani,, kalo udah liat sosmed,, waktu berjam-jam lwt kadang gak sadar *pengalamanpribadiku
ReplyDeleteBetul mbaa.. aku pas baca2 tulisan lama berasa nyes. Bersyukur bisa melalui proses yg sulit sekalipun^^ nice sharing mbaa
ReplyDeleteMakasih Mbak Ucig udh mampir 😀
DeleteBiasanya emang rasa malas sih yang membunuh semuanya.
ReplyDeleteRasa malas memang jadi musuh bebuyutanx produktif dari dulu..hehhehe. Makasih mbak Akarui Cha udh mampir 😄
DeleteMonsternya klo aq kurangnya msnajemen eaktu
ReplyDeleteAku juga kayak gitu Mbak Dian... Sangat amburadul di manajemen waktu.. Hiks
DeleteKalimat pembukanya menampar untuk gak malaass nuliss.. Duh, ngusir rasa malas yg susah.. Tq tulisannya :)
ReplyDeleteMakasih Mbak Nhae Gerhana udah mampir ^_^
ReplyDeleteMari tetap menulis walau hanya 1 minggu 1 cerita, heheheh