Pria
berbaju koko putih tadi mengambil alih pembicaraan. Beberapa cewek anggota
remaja mesjid yang sedari tadi juga terlihat bosan kini menatap lurus ke depan
dengan serius. Aku pun tak punya alasan lagi untuk menunduk terus, aku ingin
melihat wajah nya langsung. Aku berani kan mengangkat kepala dan menatap
wajahnya yang hanya berjarak satu setengah meter dariku.
“Dan
untuk teman-teman KKN terima kasih karena telah hadir di desa kami. Untuk ke
depannya insya Allah kami akan meluangkan banyak waktu kami untuk membantu
program kerja dari teman-teman...”
Wah..
dilihat dari jarak dekat dia lebih ganteng. Pandangan matanya sangat teduh,
lesup pipinya selalu terlihat saat ia mengucapkan sebait kata. Senyum manisnya
tak pernah lepas. Serta Alis tebalnya yang
benar-benar memikat.
“Dia
sempurna” kataku pada diri sendiri. Aku tak berkedip menatapnya. Hingga kemudian
bola mata kami bertemu. Aku langsung menundukkan pandangan. Kuharap tatapan
mataku tadi tak membuatnya merasa aneh.
Seusai
shalat ashar berjamaah, aku kembali ke posko dengan langkah-langkah tertatih.
Sepertinya aku tak punya tenaga lagi untuk berjalan. Matahari masih bersinar
sangat terik walaupun jam sudah menunjukkan pukul 4 lewat. Kupandangi anak-anak
kecil yang sedang bermain di pinggir jalan. Aku menghampiri dan menyapa mereka,
memperkenalkan diri dan bergabung bermain bersama mereka sejenak. Aku selalu
suka dengan anak-anak. Tawa mereka selalu membuatku merasa bahagia. Dan
beberapa menit perkenalan ku dengan mereka. Mereka telah tertawa riang melihat
ku bermain asal-asalan. Tanpa kusadari ada satu pasang mata yang memperhatikan
ku dari kejauhan.
Pukul
18.05 beduk adzan maghrib ditabuh, adzan berkumandang memenuhi langit jingga
desa ini. Aku dan beberapa teman sudah duduk manis menatap hidangan buka puasa
yang dipersiapkan Ibu Kepala Desa sejak siang tadi. Ada Es buah, ada dadar
gulung, ada jalangkote, ada kue lapis, Es Sirup Leci dan buah pisang. Aku dan
teman-teman yang lain menatap takjub takjil buka puasa di atas meja, lalu
tiba-tiba ibu Kepala Desa menghampiri kami sambil membawa tambahan gelas untuk
kami.
“Maaf
ya Nak, cuma bisa menyiapkan buka puasa seadanya. Kalian sabar ya selama berada
disini, nanti kalau kalian sudah kembali ke rumah masing-masing baru bisa makan
enak lagi” kata ibu setengah baya tersebut.
“Wah
Bu, ini takjil buka puasanya sudah lebih dari cukup bu. Kami malah bingung mau
makan yang mana dulu, karena pilihan nya terlalu banyak” kata Ahmad berbasa
basi, padahal dia sudah menghabiskan segelas es buah dan tiga potong dadar
padahal baru sepuluh menit yang lalu waktu berbuka.
“Iya
Bu. Kita sangat berterima kasih karena sudah disiapkan menu buka puasa sebanyak
ini. Es buah nya sangat nikmat bu” Kata Rafi, wakil ketua yang sangat santun
itu.
“Syukurlah
kalau begitu. Kalian habiskan ya makanan nya. Kalo ndak habis nanti jadi
mubazzir loh” kata bu Desa sambil beranjak menuju dapur.
“Siap
bu, laksanakan” kata Radit, teman satu fakultasku yang bertindak sebagai Ketua
Bidang Perlengkapan. Badannya kurus kerempeng tetapi nafsu makannya jauh lebih
besar dibandingkan Ahmad yang bertubuh gemuk.
Aku
hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah mereka yang seperti kesetanan
menikmati sajian buka puasa itu. Tiba-tiba Rara, gadis bertubuh mungil yang
kukenal sejak OSPEK, namun berbeda Fakultas dengan ku menghampiriku setelah
membantu Ibu Desa di dapur.
“Astrid,
tadi siang kamu ikut rapat sama anak-anak Karang Taruna dan Remaja Mesjid sini
kan?” tanya Rara setengah berbisik padaku.
“Iya,
aku ikut. Emang kenapa?”
“Tadi
Radit cerita, katanya Ketua Karang Taruna merangkap Ketua Remaja Mesjid sini
ganteng banget ya?” tanya nya antusias.
“Hum...
gak ganteng-ganteng amat seh. Tetapi lumayanlah” kataku sambil terus mengunyah
lapis legit kuning yang sisa beberapa potong di atas meja.
“Gak
ganteng-ganteng amat ya? Tetapi kok kata Radit, waktu kamu liat dia katanya
mata kamu membelalak dan tak berkedip sama sekali?” katanya lagi setengah
mengejek.
“What?”
aku hampir tersedak mendengar kata-kata Rara barusan. Aku langsung menoleh ke
Radit yang tengah khusyuk menghabiskan Es Buah nya setelah tiga kali tambah. Radit
yang dari tadi sibuk menatap mangkuknya lalu mengangkat kepala dan menoleh
padaku. Ia lalu tersenyum manis menampakkan wajah innocentnya lalu segera kabur
ke dapur.
“Radith,
awas ya kamu” kataku dalam hati.
Aku
kemudian tersenyum manis ke arah Rara yang terkekeh melihat Radit yang kabur
sambil membawa kabur sesisir pisang dari atas meja.
“Hum,
Entahlah. Persepsi orang tentang sosok ganteng itu kan beda-beda. Kalau kamu,
udah selesai masa datang bulannya. Kamu bisa shalat berjamaah di Mesjid lagi
dan melihat langsung yang namanya Mas Irwan itu” kataku sambil melanjutkan makan
kue lapis legit terakhir yang ada di piring.
“Oh..namanya
Irwan toh. Wah nggak sabar neh, mau lihat langsung orangnya kayak gimana?” kata
Rara sambil tersenyum genit lalu berlalu ke dalam kamar.
Huftt..
aku menghela nafas panjang. Sialan, ternyata waktu di Mesjid tadi, Radit
memperhatikan aku. Ya ampun aku jadi merasa malu sekali.
Bersambung...
Comments
Post a Comment
Terima Kasih sudah berkunjung ^_^
Silahkan meninggalkan komentar jika berkenan